Rindu itu bernama Perjuangan
Oleh
: Agung Pratama
Bila
rindu itu datang, terkadang berjuang sendirian itu teramat menyakitkan tanpa
ada suatu kondisi yang sistematis. Pada akhirnya itu pun menjadi demam kala
rasa lelah dan letih datang mendatangi. Sampai baru kusadari bahwa rindu itu
tak pernah datang, karena bahwasanya ia melekat di dalam diri manusia. Namun
kembali lagi kepada manusianya, mengikuti nafsunya atau hatinya.
Namun aku percaya bahwa yang
membangun sikap optimistis untuk perbaikan negeri itu tidak dapat sendirian,
namun harus seluruh pemuda bangsa yang berintelektual di negeri ini. Konsep
membangun yang dasar ialah kala kita menempuh pendidikan. Pendidikan adalah
salah satu sarana untuk membangun mental pemuda bangsa negeri ini. Namun
pertanyaan sekarang, seberapa baik pemuda sekarang membangun mentalnya untuk
membangun bangsanya. Atau sekedar hanya menjadi kuli di negeri sendiri, sudah
menjadi kebanggaan. Tentu tidak seperti itu yang ingin di capai. Bagaimana
mengeluarkan kualitas yang bagus kalaupun alat untuk menghasilkan kualitasnya
sudah rusak parah dan berkarat. Sebuah kerinduan untuk bersama-sama membangun
bangsa menjadi hal yang penting bukan perusak bangsa.
Mengenai hal itu tentu esensi mendasar ialah pemuda mana yang akan membangun bangsa ini. Bila semasa sekolah ia sudah melakukan kegiatan di luar intelektual tentu itu menjadi catatan evaluasi ke depan. Menurut tjetje intelektual/intelegensia adalah mereka yang terpelajar plus. Plus inilah yang paling fundamental dalam kondisi intelektual pemuda. Tak mungkin pula pemuda yang egoistis, maling, curang, jahat dan suka mencontek serta merugikan diri orang lain termasuk dalam Plus ini. Hal itu tentu tidak termasuk pemuda bangsa yang berintelektual, karena itu mereka hanya menjadi batu, kerikil, dan sandungan dalam membangun negeri bagi pemuda intelektual. Otomatis yang di maksud dengan intelektual adalah kebalikan dari semua itu, dan yang menyangkut hal-hal yang baik. Rindu ini bukan di ucapkan dari lisan, namun di hayati sampai ke sanubari agar melekat ke dalam hati.
Cukup ngilu apabila melihat sebuah realita
sekarang, di zaman teknologi sudah menjadi alat pemanja. Mahasiswa yang
termasuk dalam lingkup pemuda, tentu mempunyai nama kebesaran. Elemen inilah
seharusnya mempunyai intelektual itu, karena mereka termasuk elemen pemuda yang
menempah di dunia pendidikan. Berbeda kondisi apabila melihat ke belakang,
dengan menemui nama Adam Malik, Haji Agus Salim, H Anwar Tjokroaminoto. Mereka
ialah pemuda yang menempah mentalnya secara otodidak bukan melalui lembaga
pendidikan. Maka tak heran bahasa asing sudah mereka kuasai walaupun tanpa di
tempa di dunia pendidikan. Kembali ke kondisi sekarang tentu hal itu cukup di
bilang mustahil apabila melihat pemuda bangsa ini bisa menguasai 5 bahasa asing
tanpa melalui lembaga pendidikan. Hal itu harus menjadi bahan referensi untuk
para pemuda karena telah mengajarkan realita terdahulu. Realita sekarang,
menjadi pemuda belum tentu menjadi mahasiswa dan menjadi mahasiswa belum tentu berintelektual.
Tulisan ini tentang rindu yang
bernama perjuangan, bukan berjuang dalam hal pribadi. Pemuda seharusnya membuka
mata bukan terkukung di kandang emas yang hanya kamuflase. Perjuangan itu tak
mengenal kata henti, untuk senantiasa berkontribusi membangun negeri. Semoga
kita dapat berkontribusi untuk negeri dengan perjuangan yang tak kenal henti.
Tags
Merah Putih,
Pemuda
4 Comments
Awalnya kan menimbulkan kesadaran pemuda dulu. Jika kesadaran gak ada, bagaimana mau melangkah ke tahap selanjutnya ?
Salam agustinusrangga.blogspot.com
ditunggu kunjungan baliknya sob.
itu gan yang susah, mencari "sadar" itu !
Banyak yang nggak sadar2, sekarang mah... Makasih gan.
Oke
Gan, minta follow agustinusrangga.blogspot.com dong
agan juga follow kami.. ok
Post a Comment
Satu kata sungguh berarti