Ini Tentang Kita (Refleksi Kebangkitan)
Hari
ini adalah hari peringatan kebangkitan nasional, sudah seratus tahun lebih dari awal
pergerakan pemuda. Namun, bukan cerita terdahulu tentang pergerakan sebelum
proklamasi yang ingin saya ceritakan. Bukan pula cerita tentang kabinet hatta
yang memunculkan hari kebangkitan nasional pada hari ini. Tapi ini cerita
tentang kita sebagai pewaris bangsa, sebagai mahasiswa dan ini untuk kita
seorang muslim berjiwa islam.
Ini tentang kita,
senantiasa berpikir dalam menjalani hari dalam merancang konsep agenda satu
sampai agenda lainnya. Namun sepertinya kita kebanyakan konsep dan berkoar koar
dari forum satu ke forum satunya lagi dengan orang-orang itu lah. Tak bosankah
kita dengan rancangan agenda yang itu-itu lah. Bukankah kita ini orang-orang yang berpikir dan berkendak
merdeka. Sudah seyogyanya cara rancangan agenda pun sesuai dengan kondisi
apa yang kita alami, bukan menjadikan konsep turunan menjadi harga mati tanpa
dapat di ganggu gugat. Sepertinya para pendahulu negeri ini lebih merdeka
jiwanya, dari pada kita sekarang ini. Terkukung dalam pikiran sendiri, sebelum
atau belum di coba konsep yang akan kita jalani.
Ini
tentang kita, sepertinya kita terlelap dari tidur panjang yang tak kunjung
bangun. Bukan masalah tidurnya, namun cerita pengantar tidur seputar tragedi
kemanusiaan yang membuat kita takut untuk bangun. Terlalu takut untuk bangun
apabila memunculkan nama sayyid quthub untuk membangunkan tidur kita.
Sepertinya perjalanan kita tak ada kata akhir, bertualang di alam mimpi dan
berputar-putar di situlah. Perasaan was-was dalam organisasi dan akademik
sering menjadi hal kemanapun bimbang. Di akademik mikiri organisasi, begitu pun
sebaliknya namun perlu di garis bawahi bahwa itulah konsekuensinya. Cobalah
kita untuk memahami tentang filosofi dari organisasi, pahamnya kita dengan
organisasi ini akan menumbuhkan rasa. Rasa yang tak perlu kata mesra, karena
rasa ini tanpa kosa kata.
Ini tentang kita,
bukan maksud saya untuk menjadi guru kalian. Bukan, bukan yang seperti itu.
Sebenarnya rasa dalam hati saya yang memaksa menuangkannya. Tak bisakah kita
mengingat bahwa pemuda desa yang miskin, menjadi sebuah dasar kata dari
ideologi pemimpin bangsa kita. Lantas bagaimana dengan kita, masih adakah yang
menganggu pikiran kita dalam berkontribusi di jalan dakwah ini bukankah tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa
kita bertindak untuk menjadi ini atau menjadi itu. Tak tergiurkah kita,
dengan sebuah janji tentang konsekuensi aktivitas dakwah kita. Tak bisakah kita
untuk senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan, penuh semangat, penuh senyum
dan penuh dengan jiwa keimanan.
Ini tentang kita,
tentang saya atau tentang kalian entahlah saya tak tahu. Namun ini tentang
cerita pemuda yang berada di kampus. Menjadi pilihan antara mengabdi atau
menjadi kuli di negeri sendiri. Yah ini sebuah pilihan bukan menjadi paksaan, karena
kita hanya bertindak atas dasar
pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau
kedudukan itulah adalah gambaran jiwa islam kita. Namun apakah keikhlasan
senantiasa mengumbar untuk di munculkan. Lantas kenapa masalah di internal
senantiasa berkutat pada kita. Mungkin kita sudah lupa, bahwa sejujurnya ini
hanyalah sebuah sebuah persepsi tentang wadah aktualisasi. Hakikatnya cinta
kita kepada islam lah yang membuat kita bergabung di sini, dakwah lah jalan
juang kita, rasa ingin memperbaiki dirilah yang membuat kita di sini.
Ini tentang kita,
sebuah kepercayaan yang harus di tanamkan kepada sesama muslim. Bukan rasa iri,
dengki atau sombong yang senantiasa di tunjukkan. Lantas masalah apa yang ada
di sini. Pada dasarnya ini menjadi refleksi kebangkitan terkhusus bagi
mahasiswa muslim yang berada di kampus dan aktif di dunia keorganisasian islam.
Pada akhirnya pun saya percaya kebangkitan dari hati ini akan hadir di setiap
jiwa kita untuk berkontribusi dan menyebarkan harum dan indahya islam.
Huruf yang tebal adalah
transpirasi oleh kredo pertama kammi yang berbunyi “Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada
satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas
dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari
pujian atau kedudukan”
2 Comments
tulisannya bikin lemes.. :D
Tak kusangka, taufik ! taufik !!
Post a Comment
Satu kata sungguh berarti